Catatan · Non Fiksi

Idul Adha dan Makna Melepas Rindu di Dalamnya

اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ

لا إِلهَ إِلاَّ اللهُ واللهُ أكْبَرُ اللهُ أكْبَرُ وَِللهِ الحَمْدُ

Subhanallah walhamdulillah wa lailahaillallah Allahuakbar

Seseorang bertanya tentang makna Idul Adha bagiku. Bagiku, Idul Adha adalah pelepas rindu, setidaknya begitu yang aku resapi. Melepas rindu dengan keluarga dan melepas rindu dengan Rabb kita. Sayup-sayup, suara takbir mulai terdengar. Hingga kini suara takbir terdengar lebih lantang. Ah, rindu.

Di Madura, ada tradisi “toron” atau dalam Bahasa Indonesia memiliki arti turun. Sejak dulu, hampir semua orang Madura yang merantau akan toron atau kembali ke kampung halamannya saat tellasân rajâ atau tellasân ajjhi. Tellasân rajâ sendiri memiliki arti lebaran besar. Sebab di Madura, perayaan Idul Adha jauh lebih besar dibandingkan Idul Fitri. Tellasân ajjhi sendiri memiliki arti lebaran haji. Sebab Idul Adha berbarengan dengan ibadah Haji.

Pada momen ini, rasanya Madura terasa lebih ‘ramai’. Yang merantau kembali pulang, rehat sejenak setelah memeras keringat di tanah orang. Yang merantau kembali pulang, sebenar-benarnya pulang pada satu-satunya yang berhaga, keluarga. Yang merantau kembali pulang, setelah menahan rindu pada anak, istri, dan sanak saudara yang lainnya. Rumah akan terasa ramai, semuanya berkumpul dengan alas tikar dan suguhan sederhana yang wanginya tidak ada duanya. Selayaknya kami orang Madura yang memiliki rumah tanèyan lanjhâng, kami berkumpul bersama.

Pada momen ini, mereka yang merantau dan menyimpan emas atau pundi-pundi lain akan dengan rela menjualnya untuk keperluan berkurban. Bukan hanya itu, para saudara juga akan dengan rela menjualnya untuk menyiapkan kedatang saudara lain yang sedang berhaji di Tanah Suci.

Pada momen ini, siapa-siapa yang bahkan tidak pulang saat Idul Fitri pun akan pulang. Bus-bus akan penuh sesak, tak jarang kami harus berdiri di pintu seperti kernet dan baru bisa duduk setelah sekian jam menanti ada bangku kosong. Sejak jauh-jauh hari mereka memesan tiket kapal laut atau pesawat. Sejak jauh-jauh hari kabar kedatangan mereka dinanti. Pada momen ini, sepertinya pekerjaan dan pendidikan tidak lagi dijunjung (dalam konotasi yang positif) dan posisinya harus kalah dengan keluarga.

Ah, rindu. Dengan gema takbir dari segala penjuru, rindu itu makin terasa sebab ia tidak bisa dilepas. Karena tahun ini aku tidak menjalankan tradisi itu. Dan terasa semakin berat, sebab rasanya takbir Surabaya malah mengingatkan deretan kalimat-kalimat yang Ibu lontarkan.

“Mon bâ’ân para’ molèa, Mama la kapèkkèran,” kalimat yang aku balas dengan afirmasi, “halah, sudah dua tahun kok. Apa yang mau dipikirin.” Kalimat yang persis maknanya seoperti yang diucapkan Fahri dalam Ayat-Ayat Cinta, “bagaimana bisa kita merasa rindu bahkan saat orang tersebut masih ada di samping kita.”

“Sangghui molèa,” kalimat yang aku balas, “nggaknggak pulang.”

Atau kalimat lain yangs selalu didengar setiap beliau berbicara, “bârâs? bâdâ dimma? jhâ’ loppaè bhâjângnga.” Dan itu semua kerap aku jawab dengan tidak jujur.

Ah, rindu.

Belum lagi rindu pada Rabb kita. Rindu mengiba dan mengakui dosa.

 


 

Surabaya, 9 Dzulhijjah 1439 H

Dengan iringan takbir, tetapi tanpa suara lantang khas Madura oleh keluarga.

Yang disemai rindu

Tinggalkan komentar