Catatan · Non Fiksi

Female Genital Mutilation: Kultur, Agama, dan Perspektif Ilmiahnya

Tulisan ini adalah tulisan ilmiah yang disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Forensik

Kegiatan mutilasi alat kelamin biasanya dilakukan pada laki-laki dengan sebutan sirkumsisi atau sunat. Sirkumsisi merupakan tindakan memotong atau menghilangkan sebagian atau seluruhkulit penutup depan (kulup) dari penis (Prasetyo, 2018). Hal ini dilakukan karena alasan medis. Akan tetapi, prosedur sirkumsisi juga dilakukan pada perempuan di beberapa wilayah di dunia. Prosedur sirkumsisi yang dilakukan pada perempuan dikenal dengan istilah female genital mutilation.

Female Genital Mutilation (FGM) merupakan segala prosedur yang dilakukan secara sengaja untuk melukai atau menghilangkan organ genital perempuan tanpa alasan medis (WHO, 2018). Prosedur yang dilakukan bisa berupa prosedur melukai atau menghilangkan organ genital perempuan, baik sebagian maupun seluruh bagian luar organ genitalnya. Mulai dari melukai hingga menghilangkan bagian klitoris, labia minor, dan labia mayora. Padahal organ tersebut memiliki peran penting pada sistem reproduksi dan urinasi perempuan terutama organ klitoris yang merupakan organ yang memiliki peran utama dalam hal stimulais seksual perempuan (Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay, 2002).

FGM biasanya dilakukan pada perempuan usia 2-11 tahun walaupun pada beberapa kasus FGM juga masih dilakukan pada perempuan dewasa (WHO, 2018). Orang yang melakukan FGM adalah perempuan yang lebih dewasa, pemangku adat atau tokoh adat, hingga tenaga kesehatan. Kebanyakan kasus FGM dilakukan oleh orang-orang tanpa lisensi kesehatan, termasuk di Indonesia (UNICEF, Female Genital Mutilation/Cutting: A global concern). Alat yang digunakan untuk melakukan prosedur FGM adalah alat-alat yang tidak steril seperti koin, silet, atau benda tajam lainnya. Dalam kasus FGM yang dilakukan oleh tenaga kesehatan, alat yang digunakan merupakan alat-alat kesehatan yang sebenarnya tidak memiliki fungsi untuk sirkumsisi organ genital perempuan. Sebab menurut Emmy Nurjasmi, Ketua Ikatan Bidan Indonesia, tidak ada kurikulum atau pembelajaran dalam dunia kesehatan yang menerangkan cara dan prosedur sirkumsisi pada perempuan .

Pada tahun 90-an, WHO memperkirakan bahwa ada lebih dari 130.000 perempuan telah mengalami FGM (Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay, 2002). Data terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 200.000 perempuan terancam menaglami FGM terutama di 30 negara yang menjadi fokus WHO. Yaitu daerah Afrika, Timur Tengah, dan Asia termasuk Indonesia. Sekitar 13,4 juta perempuan Indonesia diduga telah mengalami FGM (Lubis & Jong, 2016). Data RISKESDAS (2013) menunjukkan bahwa di Indonesia, kasus FGM paling banyak terjadi di Provinsi Gorontalo dan paling sedikit terjadi di Nusa Tenggara Timur. Di Indonesia, FGM kebanyakan di lakukan saat anak berusia di bawah 6 bulan. 3 dari 4 anak perempuan mengalami hal tersebut. Orang yang memutuskan FGM kebanyak adalah orang tua, keluarga, dan pemangku adat di daerah mereka (UNICEF, 2016).

Gambar 1. Female Genital Mutilation (gambar dari endfgm.eu)

FGM terbagi menjadi 4 tipe. Tipe 1 disebut dengan cliretodectomy, pada tipe I sebagian atau seluruh klitoris dihilangkan. Tipe 2 disebut dengan excision, pada tipe ini sebagian atau seluruh klitoris dan labia minora dihilangkan. Tipe 3 disebut infibulation, pada tipe 3 organ reproduksi luar perempuan dibuat lebih sempit dengan prosedur penjahitan. Pada tipe 3, excision dan infibulation juga bisa terjadi. Tipe 4 adalah seluruh prosedur menyakitkan lainnya yang tidak didasari dengan alasan medis pula seperti menusuk, memotong, membakar, maupun memasukkan zat-zat tertentu ke dalam organ reproduksi (WHO, 2018). Jenis FGM yang terjadi di Indonesia pun beragam. Tipe 1 dan tipe 4 merupakan tipe FGM yang paling banyak terjadi di Indonesia (UNICEF, 2016).

FGM sudah terjadi sejak dulu dan pembahasannya seringkali berkaitan dengan bahasan tentang budaya dan tidak terafiliasi dengan pembahasan agama manapun. Menurut Elchalal, secara historis pembahasan tentang FGM telah dikaitkan dengan lebih dari 5000 budaya (Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay, 2002). Penelitian yang dilakukan Morris (1999) pun menunjukkan bahwa hasil penelitiannya pada penganut Islam, Yahudi, dan Kristiani tidak menunjukkan bahwa FGM tidak terafiliasi dengan agama-agama tersebut. Meskipun banyak daerah yang melakukan FGM merupakan budaya dengan mayoritas masyarakat Islam seperti Arab Saudi, tetapi tidak ada bukti yang cukup untuk mengklaim bahwa FGM adalah epidemic yang terjadi karena ajaran Islam (Osten-Sacken & Uwer, 2007). Klaim bahwa FGM merupakan bagian dari agama tertentu juga terjadi di Indonesia. Kebanyakan kasus di Indonesia, FGM dilakukan oleh seorang tokoh agama sekaligus tokoh adat di daerahnya.

Budaya-budaya yang di dalamnya memiliki keyakinan untuk melakukan FGM memiliki keyakinan irasional yang tidak dlandasi dengan alasan yang scientific. Dalam budaya ini, klitoris yang sebenarnya tidak memiliki peran yang sama dengan penis di argumentasikan sebagai organ yang sama dengan penis dan sama-sama harus disirkumsisi (Moore, 1866) dan prosedur melukai atau menghilangkan klitoris dianggap sebagai sebuah usaha preventif untuk mencegah intensi masturbasi dan intensi seksual lainnya. Prosedur FGM dianggap sebagai sebuah usaha preventif dalam urusan moral (Brown, 1966 dalam Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay, 2002), mempertahankan kesetiaan dalam hubungan pernikahan, mengatur dorongan seksual perempuan, mencegah homoseksualitas pada perempuan, mengatur kepribadian perempuan agar kemayu atau lemah lembut sebagaimana yang digambarkan sebagai kepribadian perempuan dalam masyarakat, mencegah klitoris tumbuh panjang seperti penis (Eke & Nkanginieme, 1999 dalam Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay, 2002).

Budaya-budaya yang menerapkan FGM biasanya merupakan budaya yang memandang perempuan sebagai lapisan kedua dari masyarakat. Perempuan dianggap sebagai gender yang tingkatan derajatnya berda di bawah laki-laki dan perlu ditekan oleh sistem sosialnya. Pada budaya lainnya, sirkumsisi menjadi tolok ukur harga diri perempuan. FGM kerap dilakukan dengan emyakini bahwa hal tersebut merupakan perintah agama padahal tidak ada bukti yang mendukung perilaku tersebut, orang tua yang menganggap FGM sebagai upaya mereka mempersiapkan anak perempuan pada pernikahan, dan alasan lainnya adalah untuk melestarikan budaya. Keyakinan-keyakinan irasional inilah yang menjadi argumentasi para pelaku FGM dan menjadi etiologi dari kasus FGM yang saat ini juga telah menjadi concern utama dalam lingkup dunia.

Di indonesia, FGM pun kerap terjadi di budaya-budaya tertentu. Penyebabnya sama, yaitu keyakinan irasional dari masyarakatnya. Di Makassar, Madura, dan beberapa daerah lainnya, nak perempuan harus mengalami FGM. Walaupun orang tua mereka tidak mengetahui alasan logis dari FGM, mereka tetap memiliki intensi untuk melakukan sirkumsisi pada anak perempuan mereka.

FGM dapat menyebabkan rasa sakit yang parah, permasalahan urinasi dan reproduksi, komplikasi pada kehamilan dan kelahiran. FGM juga menurunkan gairah seksual perempuan serta menyebabkan permasalah menstruasi. 80%  subjek yang mengalami FGM menunjukkan bawah mereka mengalami dismenorea, vagina yang kering saat melakukan aktifitas seksual, kurangnya gairah seksual, frekuensi gairah seksual yang lebih rendah, inisiatif seksual yang rendah pula, dan tingkat kepuasan serta orgasme yang rendah (El-Defrawi, Lotfy, Dandash, Refaat, & Eyada, 2001). Akan tetapi, angka statistic penelitian ini tidak menunjukkan angka yang signifikan, tetapi bukan berarti FGM tidak memiliki dampak pada psikoseksual perempuan. Menurut WHO (1993), 1% dari ibu hamil yang telah mengalami FGM mengalami kematian saat melahirkan (Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay, 2002). Kematian tersebut disebabkan oleh komplikasi kesehatan yang diakibatkan oleh FGM. Secara psikologis, FGM menyebabkan permasalahan psikologis seperti PTSD, kecemasan, depresi (Whitehorn, Ayonrinde, & Maingay, 2002), mengakibatkan disturbance behaviour pada anak, berhubungan dengan hilangnya rasa percaya pada caregiver, hilangnya rasa percaya diri, dan dalam jangka panjang mengakibatkan kecemasan, depresi, masalah seksual yang mengarah pada perceraian (UNFPA, 2018). Pada sebagian korban FGM, perlakuan ini dianggap sebagi sebuah pengkhianatan dari orang yang mereka percayai.

Intervensi yang dilakukan untuk menangani FGM adalah tindakan deinfibulation. Deinfibulation dilakukan dengan cara membuka bagian labia mayora dan labia minora yang telah ditutup lalu berusaha mencari bagian klitorisnya (WHO, 2018). Kegiatan ini sudah banyak dilakukan oleh imigran Afrika di negara-negara besar yang telah memiliki teknologi untuk melakukan deinfibulation. Upaya pencegahan FGM telah dilakukan oleh WHO dan phak-pihak terkait didukung dengan Suistanable Development Goals (SGDs) 2030 pada bidang nomor 5. Di Indonesia pun, Kementerian Kesehatan RI juga telah mencabut izin sirkumsisi perempuan kepada semua tenaga kesehatannya. FGM sudah menjadi hal yang jelas dilarang untuk dilakukan. Sayangnya, larangan ini belum didukung dengan kesadaran masyarakat Indonesia yang kebanyakan masih ingin melakukan sirkumsisi pada anak perempuan mereka. Sehingga, Pratik FGM masih banyak terjadi dan dilakukan oleh tenaga non-profesional seperti dukun atau tokoh adat. Fatwa Majelis Ulama Indonesia pun masih membolehkan praktik ini. adapun intervensi medis untuk FGM di Indonesia belum terdata secara maksimal.

Keyakinan bahwa FGM adalah bagian dari agama tertentu terutama Islam di Indonesia maupun di dunia tidak dapat dibuktikan. Keyakinan-keyakinan bahwa FGM menjadi cara mengatur moral, mencegah perbuatan buruk dari perempuan, atau bahkan sebagai upaya persiapan untuk pernikahan adalah keyakinan irasional yang terjadi di masyarkat Indonesia. Pemikiran ini menjadi penyebab tingginya angka FGM di Indonesia dan menyebabkan FGM terus terjadi di Indonesia. Bahkan, di Indonesia kasus FGM banyak terjadi pada usia di bawah 6 bulan. Sedikitnya pengetahuan masyarakat berbanding terbalik dengan banyak dampak negative yang dapat disebabkan dari FGM. Ketidakselarasan ini perlu diberi intervensi agar FGM tidak terus terjadi dan semakin banyak korban di Indonesia. Argument-argumen yang dikemukakan untuk melakukan FGM tidak dapat dibuktikan secara scientific dan tidak disadari oleh alasan medis pula. Oleh karena itu, penulis sangat tidak menyetujui praktik FGM yang terjadi. Untuk menangani kasus FGM ini, upaya preventif harus terus dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat khususnya para orang tua terkait FGM. Upaya ini sangat perlu dilakukan di daerah yang memiliki budaya pelaku FGM. Pemerintah juga perlu mengembangkan layanan kesehatan untuk memberikan tindakan medis seperti deinfibulation untuk masyarakat yang telah mengalami FGM.


Referensi

El-Defrawi, M. H., Lotfy, G., Dandash, K. F., Refaat, A. H., & Eyada, M. (2001). Female Genital Mutilation and its psychosexual impact. Journal of Sex and Marital Therapy, 27, 465-473.

Lubis, A. M., & Jong, H. N. (2016, February 16). FGM in Indonesia hits alarming level. Retrieved from The Jakarta Post: https://www.thejakartapost.com/news/2016/02/06/fgm-indonesia-hits-alarming-level.html

Osten-Sacken, T. v., & Uwer, T. (2007). Is Female Genital Mutilation an Islamic Problem? Retrieved from Middle East Forum: https://dev.meforum.org/1629/is-female-genital-mutilation-an-islamic-problem

Prasetyo, B. (2018). Asupan seng dan penyembuhan luka sirkumsisi. Journal of Nutrition and Health, 16(2), 93-98.

UNFPA. (2018, February). Female Genital Mutilation (FGM) frequently asked question. Retrieved from United Nations Population Fund: https://www.unfpa.org/resources/female-genital-mutilation-fgm-frequently-asked-questions#where_practiced

UNICEF. (2016). Statistical profile on female genital mutilation/cutting. New York: UNICEF. Retrieved from World Health Organization.

UNICEF. (n.d.). Female Genital Mutilation/Cutting: A global concern. Retrieved from UNICEF: https://www.unicef.org/media/files/FGMC_2016_brochure_final_UNICEF_SPREAD.pdf

Whitehorn, J., Ayonrinde, O., & Maingay, S. (2002). Female genital mutilation: Cultural and psychological implications. Sexual and Relationship Therapy, 17(2), 161-170.

WHO. (2006, June 3). Female genital mutilation and obstetric outcome: WHO collaborative prospective study in six African countries. The Lancet, pp. 1835-1841.

WHO. (2018, December 31). Female Genital Mutilation. Retrieved from World Health Organization: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/female-genital-mutilation

Tinggalkan komentar